MOHON DUKUNGAN

MOHON DUKUNGAN

Selasa, 11 September 2012

Fatwa Qardhawi tentang Qadha dan Qadar


Fatwa Qardhawi tentang Qadha dan Qadar 

Selasa, 11 September 2012, 15:23 WIB
wordpress.com
  
Fatwa Qardhawi tentang Qadha dan Qadar (3-habis)
Ilustrasi

Suatu pendapat mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia sudah ditentukan sejak zaman azali. 

Hal itu seperti masalah kematian, rezeki, keberuntungan, kegagalan, kebahagian dan kesengsaraan di dunia, sebagai ahli surga atau ahli neraka. 

Kalau demikian halnya, apa arti usaha manusia? Apakah dokter dapat menyelamatkan manusia dari kematian? Apakah kerja keras, usaha yang terus-menerus, manajemen yang teratur dalam perdagangan atau pertanian ada hubungannya dengan penambahan rezeki? Apakah rezeki itu sudah ditentukan batas dan ukurannya, baik kita bekerja maupun bermalas-malasan?

Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, sebetulnya tidak ada hal yang harus dibingungkan dalam masalah ini, karena Islam telah memberikan jawaban yang memadai, yaitu:

1. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sudah ditulis dan dicatat sebelumnya. Hal ini sudah dimaklumi secara pasti dari Islam dengan tidak diragukan lagi, meskipun kita tidak mengetahui bagaimana cara penulisannya dan apa isi kitab yang memuat ketentuan itu.

Yang kita ketahui bahwa Allah SWT telah menciptakan alam semesta ini dengan bumi dan langitnya, dengan benda-benda mati dan makhluk hidupnya, sesuai dengan takdir (ketentuan azali) di sisi-Nya. 

Allah menciptakan segala sesuatu dengan ilmu dan hitungan-Nya. Segala sesuatu di alam semesta ini terjadi sesuai dengan ilmu dan kehendak-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam Firman-Nya berikut ini;

"... tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kekal dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Yunus: 61).

"... tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59).

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).

 2. Pengetahuan yang menyeluruh, perhitungan yang teliti, dan pencatatan yang meliputi segala sesuatu dan peristiwa sebelum terjadinya semua ini tidak menafikan (meniadakan) ijtihad dalam berusaha dan mencari atau melakukan sesuatu yang menjadi sebab bagi sesuatu yang lain.

Jika Allah menentukan akibat, Dia juga menentukan sebabnya, sebagaimana Dia telah menentukan natijah (kesimpulan) sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan-Nya. 

Karena itu, Dia tidak menetapkan keberhasilan bagi orang yang mencari keberuntungan dengan cara sembarang, tetapi Dia menetapkan keberhasilan bila wasilah-wasilahnya dipenuhi dengan baik, seperti kesungguhan, kemauan keras, kejelian, kecermatan, ketelitian, kesabaran, keuletan, dan sebab-sebab lain. 

Alhasil, yang ini (keberhasilan) berarti sudah ditakdirkan dan ditulis, dan yang itu (kegagalan) pun sudah ditakdirkan dan ditulis.

Jadi, mencari sebab tidak menafikan qadar, bahkan ini termasuk qadar juga. Karena itu, ketika Nabi SAW ditanya tentang apakah obat dan sebab-sebab atau usaha yang sekiranya dapat melindungi seseorang dari sesuatu yang tidak diinginkannya dapat menolak takdir Allah, beliau menjawab dengan jelas, "Itu termasuk qadar (takdir) Allah juga.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Ketika wabah penyakit sedang melanda negeri Syam, Umar bermusyawarah dengan para sahabat dan ia mengambil keputusan untuk tidak memasuki negeri Syam serta kembali pulang bersama kaum Muslimin.

Mendengar keputusan seperti itu, seorang sahabat bertanya kepadanya, "Apakah engkau hendak lari dari takdir Allah, wahai Amirul Mukminin?” 

Umar menjawab, "Benar katamu, lari dari qadar Allah menuju qadar Allah juga. Bagaimanakah pendapatmu, jika engkau turun pada dua petak tanah, yang satu subur dan yang satu gersang, bukankan jika engkau menggarap yang subur berarti engkau menggarapnya dengan qadar Allah? Dan jika engkau menggarap yang tandus berarti engkau juga menggarap dengan qadar Allah?”

3. Qadar merupakan perkara gaib yang tertutup buat kita. Kita tidak mengetahui bahwa sesuatu itu telah ditakdirkan kecuali setelah terjadi. 

Adapun sebelum terjadi, kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah kauniyyah (sunnatullah pada alam semesta) dan aturan-aturan syarak, untuk mendapatkan kebaikan bagi din (agama) dan dunia kita.

Seperti dikatakan penyair, “Sesungguhnya perkara gaib itu adalah kitab yang dijaga oleh Pencipta alam semesta dari pandangan mata semua makhluk-Nya. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali setelah lembarannya dibuka lewat kejadian dari masa ke masa.”

Sunnah Allah terhadap alam semesta dan syarak-Nya mengharuskan kita melakukan hal-hal yang menjadi sebab terjadinya keberhasilan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang yang paling kuat imannya kepada Allah dan kepada qadha dan qadar-Nya, yaitu Rasulullah SAW. 

Beliau mengambil persiapan, menyiapkan tentara, mengirim mata-mata, memakai baju besi, mengenakan topi baja, menempatkan pasukan panah di mulut bukit, menggali parit di sekeliling Kota Madinah, mingizinkan para sahabat berhijrah ke Habasyah dan ke Madinah.

Beliau berhijrah dan melakukan berbagai upaya yang sekiranya dapat menyelamatkan beliau dalam perjalanan hijrahnya. Beliau menyiapkan kendaraan tunggangan, mengambil penunjuk jalan untuk menemaninya, mengubah jalan yang ditempuhnya (mencari jalan lain), bersembunyi di dalam gua, melakukan upaya untuk memperoleh makanan dan minuman, dan menyimpan makanan bagi keluarganya untuk masa satu tahun. Dengan demikian, beliau tidak menunggu datangnya rezeki dari langit.

Kerika ada orang bertanya kepada beliau apakah ia harus mengikat untanya ataukah membiarkannya sambil bertawakal kepada Allah, beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah.” (HR Ibnu Hibban dengan isnad sahih dari Amr bin Umaiyah Adh Dhamri).

“Larilah engkau dari orang yang berpenyakit lepra, sebagaimana engkau lari dari singa.” (HR Bukhari).

4. Iman kepada qadar tidak menafikan kerja dan usaha. Sebaliknya, mendorong kita untuk bersungguh-sungguh meraih apa yang kita inginkan dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak kita inginkan.

Karena itu, tidak dibenarkan orang bersikap malas dan suka menunda-nunda pekerjaan untuk melemparkan segala beban dan tanggungannya, dosa dan kesalahannya kepada qadar. Sebab, sikap demikian itu menunjukkan kelemahan dan lari dari tanggung jawab.