MOHON DUKUNGAN

MOHON DUKUNGAN

Sabtu, 04 Agustus 2012

Inilah Fatwa Syekh Qaradhawi tentang Jual Beli dalam Valuta Asing


Inilah Fatwa Syekh Qaradhawi tentang Jual Beli dalam Valuta Asing 

Sabtu, 04 Agustus 2012, 20:38 WIB
dw.de
  
Inilah Fatwa Syekh Qaradhawi tentang Jual Beli dalam Valuta Asing (2-habis)
Syekh Yusuf Al-Qardhawi

AL-AKHBAR ON LINE - Transaksi keuangan yang dilakukan oleh sebagian bank lslam yang berkaitan dengan masalah jual beli valuta asing sangat sering dijumpai. 

Namun hal-hal seperti ini masih diragukan hukumnya. Masih banyak di antara kaum Muslimin yang ragu, apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam?

Bentuk transaksi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bank Islam mengumumkan nilai valuta yang hendak dijual/dibelinya melalui layar televisi dalam acara yang berkaitan dengan pasar valuta di berbagai negara, seperti di New York, London, dan Tokyo. (Kita samakan saja, nilai mata uang yang dipakai bank tersebut adalah dolar).

2. Kita umpamakan bahwa bank Islam tersebut hendak membeli dolar Amerika dari Bank Lowedz di Britania. Dalam hal ini, sudah barang tentu bank lslam itu harus menjual mata uang lain kepada Bank Britania tersebut, katakan saja mark Jerman (DM). Dan kita tetapkan saja harga satu dolar Amerika sama dengan 3 mark Jerman.

Dalam hal ini, misalnya bank Islam tersebut membeli satu juta dolar, dengan membayar 3 juta mark Jerman kepada Bank Britania.

3. Setelah itu, bank Islam dan Bank Britania mengadakan persetujuan mengenai mata uang yang diperjualbelikan. Untuk memudahkan urusan, bank Islam menugasi perwakilannya di Amerika (misalnya Bank of America) untuk melaksanakan transaksi tersebut dengan perwakilan Bank Britania disana. Misalnya Frankfurt Bank. Dalam hal ini pihak Bank Britania membayar satu juta dolar kepada bank lslam, dan bank lslam membayar 3 juta Mark Jerman kepada Bank Britania.

4. Setelah ditentukan harga mata uang yang diperjualbelikan .Begitupun kedua bank perantara mereka, maka sempurnalah serah terima terhadap nilai yang mereka sepakati dengan dimasukkannya ke dalam rekening masing-masing kedua bank itu.

Akan tetapi, sebenarnya penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu itu, melainkan setelah 48 jam kerja (dua hari kerja). 

Kenyataan seperti ini sudah biasa dikenal dalam dunia internasional dan jual beli semacam itu tetap disebut "tunai" atau "kontan". Bahkan jika kebetulan bertepatan dengan libur akhir pekan, serah terima itu baru dapat terlaksana setelah 96 jam kerja.


 Artinya, jika transaksi antara bank lslam dan Bank Britania itu terjadi misalnya pada hari Senin, 1 Desember, pukul 10.00, maka penyerahan dan penerimaan itu baru terjadi dua hari sesudahnya, yaitu hari Rabu, 3 Desember, pada pukul 10.00.

Apabila bertepatan dengan libur akhir pekan yaitu hari Sabtu dan Ahad menurut kebiasaan mereka, maka serah terima itu baru terjadi setelah emn hari kerja atau setelah 96 jam.

Serah terima itu kadang-kadang terjadi pada waktu itu (setelah terjadi kesepakatan) kadang-kadang setelah satu atau dua jam, bahkan kadang-kadang setelah 40 jam, hanya saja tidak sampai melebihi 48 jam, sebab sesudah 48 jam jual beli tersebut berarti tidak tunai menurut kebiasaan negara bersangkutan.

Bagaimanakah Islam menjawab hal ini? Syekh Yusuf Qardhawi menfatwakan terkait masalah ini, yaitu yang berhubungan dengan investasi sebagian bank Islam dalam jual beli valuta asing.

Menurut prinsip syara’, jual beli mata uang haruslah dilakukan dengan tunai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW dalam jual beli enam macam benda yang sudah terkenal.

Karena itu, tidak sah akad jual beli mata uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi itu.

Hanya saja, yang menjadi kriteria "tunai” adalah menurut kebiasaan masing-masing, dan tunainya sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini, syara’ telah menyerahkan ukuran banyak hal kepada adat kebiasaan manusia, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah dan lain-lainnya, yang di antaranya adat yaitu emas, perak, beras gandum, padi gandum, kurma, dan garam.

Maka selama yang dimaksud dengan "tunai" menurut adat kebiasaan itu tidak sempurna kecuali menurut cara yang Anda sebutkan itu yang dalam hal ini berbeda dengan jual beli bertangguh, maka makna "tunai" menurut syara’ pun sudah terealisasi.

Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum yang berkaitan dengan ketunaian menurut syara’. Namun, meskipun realitas tunai itu juga mengikuti kedaruratan waktu, darurat tetap harus diukur dengan ukurannya. Maka, tidak diperkenankan bagi bank lslam menjual apa yang telah dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut kriteria adat kebiasaan yang berlaku.

Tidak ada komentar: