MOHON DUKUNGAN

MOHON DUKUNGAN

Senin, 23 Juli 2012


Ceramah Umum Prof. Dr. Hassan Rahimpour Azghadi (Anggota Komisi Revolusi Budaya Republik Islam Iran)

 
Image
Perkembangan teknologi di dunia ini adalah tidak mutlak jelek dan tidak mutlak ancaman. Jika kita menyiapkan diri dan mempersenjatai dengan matang, maka kondisi ini justru menjadi media yang menguatkan kita dan menguatkan Islam yang memiliki ajaran yang siap disampaikan kepada semua orang. Diskusi akan membuat Islam lebih dikenal. Orang yang takut dengan kondisi ini adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang untuk disampaikan kepada orang lain. Atau, memiliki sesuatu yang malu jika diketahui orang lain.

Pendahuluan
Pada hari Kamis tanggal 5 Juli 2012 di Laboratorium Komputer Fakultas Ushuluddin dan Dakwah diselenggarakan Ceramah Umum dengan tema “Membangun Karakter Bangsa dan Kemandirian Umat di Era Globalisasi dengan Semangat Keislaman”. Narasumber acara ini adalah Prof. Dr. Hasan Rahimpour Azghadi. Dia adalah dosen, filsuf, konsultan politik, narasumber acara televisi nasional Iran yang bertema “A Model For Tomorrow”, dan salah seorang anggota Komisi Tertinggi Untuk Revolusi Kebudayaan di Republik Islam Iran.
Ceramah disampaikan dalam bahasa Persia, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdullah Beik, dan ditranskrip oleh Ahmad Fadhil.
Berikut ini isi ceramah Prof. Azghadi dan catatan dari sesi tanya jawab.
Ceramah
Saya ucapkan salam kepada yang hadir dan saya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk hadir di tengah akademisi yang telah memberikan kesempatan kepada saya. Sebagaimana Dekan Fak. Ushuluddin dan Dakwah menyambut saya dengan berbagai bahasa, maka saya juga katakan di sini bahwa saya bahagia dengan silaturahim ini (disampaikan dengan bahasa Indonesia—AF). Kegiatan seperti ini menunjukkan semangat untuk memahami bahasa satu sama lain di antara umat Islam.
Izinkan saya memulai dengan kata yang sering disebut, yaitu silaturahim. Kata ini menunjukkan kita adalah satu keluarga. Ini benar. Kita satu keluarga. Kita berasal dari ayah yang satu. Pertemuan seperti ini harus lebih banyak dari segi kuantitas dan lebih baik dari segi kualitas. Sayang memang dalam beberapa waktu terakhir kita telah dipisahkan oleh beberapa faktor. Semangat kita ke depan adalah untuk bersatu kembali.
Kita berada di dunia dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat sehingga memudahkan komunikasi, tapi juga berefek buruk yaitu budaya barat yang semula seharusnya menjadi sekadar media tapi kemudian menjadi konsep yang diterima oleh masyarakat dunia. Globalisasi itu sendiri bukan sesuatu yang baru. Kaum muslimin telah memiliki semangat global sejak awal. Tapi ini berbeda dengan globalisasi sebagai konsep barat yang mengandung makna hegemoni, yaitu usaha untuk menguasai negeri-negeri lain.
Jika globalisasi berarti mengglobalkan gaya hidup sekulerisme seperti yang dipaksakan Barat di berbagai tempat di dunia, maka pengertian ini memang baru dan dibuat oleh Barat. Tapi jika globalisasi berarti ada nilai-nilai universal, yaitu nilai-nilai reliji dan spiritual yang dibawa oleh Pembawa Islam, maka pengertian ini tidak baru. Ini saya sampaikan bukan sekadar slogan. Buktinya adalah hubungan persaudaraan dan kedekatan kita sebagai sesama muslim, nilai-nilai akhlak kita yang sama. Ini semua menunjukkan Islam adalah global. Bahkan bahasa kita. Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa bahasa Persia termasuk bahasa yang ikut masuk bersama masuknya Islam ke berbagai tempat, termasuk Indonesia. Buktinya, aksara Persia sama dengan aksara Indonesia (aksara Arab Melayu—AF). Mungkin banyak orang yang sudah tidak dapat membacanya. Sayang juga banyak informasi yang kita terima sekarang berasal dari non muslim.
Karena itu, menurut saya, perkembangan teknologi di dunia ini, adalah tidak mutlak jelek dan tidak mutlak ancaman. Jika kita menyiapkan diri dan mempersenjatai dengan matang, maka kondisi ini justru menjadi media yang menguatkan kita, menguatkan Islam yang memiliki ajaran yang siap disampaikan kepada semua orang. Diskusi akan membuat Islam lebih dikenal. Orang yang takut dengan kondisi ini adalah orang yang tidak memiliki sesuatu yang untuk disampaikan kepada orang lain. Atau, memiliki sesuatu yang malu jika diketahui orang lain. Kita dapat memberi klarifikasi atas pandangan-pandangan miring tentang Islam, memberikan solusi lokal dan global, dan berkontribusi bagi dunia. Tapi, sekali lagi kita harus mempersenjatai diri untuk masuk ke arena itu.
Ada faktor lain yang harus diperhatikan selain mempersenjatai diri. Yaitu, demokrasi yang digembar-gemborkan haruslah kesamaan hak untuk bermain di arena. Tapi, jika kesempatan itu hanya bagi satu dua negara. Maka, apa yang kita harapkan tidak akan terlaksana. Sebagaian bangsa dengan kekayaannya menghegemoni yang lain. Jika atmosfir keseteraan bagi kita untuk masuk arena internasional, maka Islam adalah agama terbaik dengan kesempatan terbesar untuk menjadi solusi, karena Islam adalah fitrah dan menyerukan penegakan keadilan. Islam menjanjikan manusia bisa maju kepada kesempurnaan materi dan non materi. Islam adalah agama universal, bukan untuk kaum tertentu, tempat tertentu, tapi sebagaimana firman Allah, “Kaaffah li al-nas.” Di dalam keyakinan Syiah pemimpin terakhir umat manusia adalah orang Islam, yaitu Imam Mahdi yang lahir pada tanggal 15 Sya’ban. Ini menunjukkan bahwa Islam punya semangat, keyakinan sebagai agama global, agama yang akan memimpin dunia.
Jadi, jika kita ditanya tentang pandangan kita tentang globalisasi, maka pertanyaannya ini tidak dapat dijawab, karena pertanyaan ini tidak lengkap. Harus dijelaskan dulu globalisasi tersebut apakah globalisasi barat, di mana mereka memaksakan hegemoni kepada yang lain, atau globalisasi sebagai adanya nilai-nilai yang harus disebarkan, maka ini positif. Hegemoni Barat berangkat dari berbagai keterbatasan, yaitu dari semata-mata Barat, dan sekelompok kapitalis, bagi kulit putih saja. Ada penjajahan bagi kulit lain. Barat tidak memiliki ideologi universal bagi semua zaman dan tempat. Apalagi hegemoni ini dilakukan dengan paksaan militer dan materialistik. Maka, hegemoni ini tidak memiliki dasar yang kuat. Sedangkan Islam tidak mengenal pembedaan warna kulit, pembebasan bagi semua bangsa, kesempurnaan bagi semua orang. Globalisasi ini lebih berpotensi.
Jika kita jujur dan menelaah lebih dalam, apa yang digembar-gemborkan Barat, bahwa globalisasi mereka berdasar pada prinsip pluralisme, jika gembar-gembor mereka ini benar, maka ini baik, walaupun pengertian pluralisme masih bisa diperdebatkan. Tapi, sebenarnya mereka tidak pluralis. Mereka tidak membolehkan semua pandangan, semua sistem, semua teologi, semua sistem politik, untuk bisa berkontribusi. Dalam politik, hanya ada beberapa negara yang punya hak veto karena mereka punya atom. Jadi, gembar-gembor mereka, tidak mereka lakukan. Mereka hanya memaksakan nilai-nilai materi semata, tanpa unsur spiritualisme. Hanya satu sisi dan satu kutub saja. Ini tidak dapat disebut globalisasi. Ini pengkutuban, pengarahan semua dunia pada yang satu.
Segala yang disebutkan tentang ham, demokrasi, ekonomi global, pasar bebas adalah tipuan. Ham adalah hak para kapitalis. Pasar bebas adalah pasar yang bermanfaat bagi para kapitalis. Jika sesuatu merugikan para kapitalis, mereka akan berteriak pelanggaran atas ham. Jika ada kaum tertindas, apalagi mereka adalah muslim, seperti Palestina, Afghanistan, maka mereka tidak pernah berteriak ada pelanggaran atas ham. Bahkan, dalam pendidikan, mereka berusaha menghegemoni lewat penerjemahan dan pengajaran di berbagai kampus di dunia. Ini adalah bentuk penjajahan modern setelah mereka meninggalkan penjajahan fisik dan militer, karena mereka tahu itu tidak mungkin. Tapi pada beberapa tahun terakhir, mereka ingin mengulangi penjajahan militer itu seperti di Sudan dan Somalia.
Roger Geraudy, salah seorang tokoh komunis yang masuk Islam, yang sebulan lalu meninggal dunia, mengatakan bahwa globalisasi, pasar bebas, kebebasan ilmiah mengatakan bahwa semua itu adalah tipuan barat untuk kediktatoran yang tidak pernah ada sebelumnya, yaitu kediktatoran yang memudahkan mereka menindas sekaligus membuat orang yang tertindas tidak merasa ditindas, melainkan berterima kasih kepada para penindas.
Apa solusi bagi kondisi ini?
Ada dua bentuk yang dilakukan orang dan kita harus memilih yang lebih baik. Pertama, solusi reaktif. Ini dilakukan orang-orang yang berusaha mempertahankan ideologinya lalu memagarinya dari hal-hal yang baru, tidak mau terkontaminasi. Akibatnya fatal, yaitu termarjinal, tidak berkembang, dan lama-lama akan punah. Di sini muncul istilah modern dan kuno. Padahal istilah ini berkaitan dengan barang dan alat, bukan dengan ideologi. Ideologi dan nilai tidak demikian. Tauhid dan syirik tidak salah satunya baru yang lain lama. Kejahatan dan kebaikan juga begitu. Keduanya lahir bersamaan.
Metode kedua, metode aktif, yaitu memaksimalkan potensi kita untuk membangun kembali peradaban Islam dengan mengoptimalkan rasio, penggalian tradisi dan teks-teks agama, mempersenjatai diri dengan ilmu hingga kita tidak menjadi konsumen ilmu dan budaya, melainkan sebagai produsen. Ini harus dilakukan semua umat Islam. Dengan cara ini kita akan maju, bukan hanya bertahan. Kita bisa mempengaruhi yang lain.
Kita memilih metode aktif. Pada poin ini yang penting adalah pendidikan. Dengan pendidikan, tidak hanya verbal, ceramah. Melainkan, seperti yang dilakukan oleh Barat, yakni dengan berbagai fasilitas hingga menjadi kita konsumen dalam ekonomi, politik, peradaban. Pendidikan kita harus dengan berbagai media yang mengembalikan kekuatan kita hingga kita diperhitungkan. Pada saat ini diberitakan Barat memboikot Iran secara ekonomi. Apakah terbayang bahwa mereka hanya takut kepada kemampuan Iran mengembangkan uranium? Tidak. Mereka takut Iran dengan kemandiriannya dapat mengembangkan banyak hal. Mahasiswa Iran semakin mampu meningkatkan kemampuannya di berbagai bidang tanpa mengimpor dan menjadi bayang-bayang mereka. Inilah penyebab sanksi Barat terhadap Iran.
Ilmu humaniora yang berpengaruh besar harus diproduksi dengan tidak hanya mengekor kepada Barat. Pagi tadi saya berbincang dengan Dekan tentang ilmu humaniora yang dikembangkan di sini, apakah masih menerjemah atau sudah memproduksi sendiri? Sangat disayangkan bahwa di sini kita masih banyak menerjemah. Tapi ini terjadi di banyak tempat. Kita harus memperhatikan dasar-dasar Islam berupa rasionalitas, pengalaman keberagamaan yang baik, teks-teks al-Quran akan memberikan hal-hal yang jauh lebih baik.
Ini harus didukung kemandirian tiap-tiap negara. Lalu, pemahaman Islam kita tidak boleh jumud, tidak menghakimi dan menganggap pandangan yang lain sebagai sesat dan kafir. Ini mengakibatkan perpecahan. Kita memiliki 90% persamaan. Perbedaan yang ada dapat didiskusikan. Jika kita tidak beroleh persamaan, maka kita bisa
Dialog
Muhamad Hudaeri (Pembantu Dekan I Fakultas Ushuluddin dan Dakwah):
Saya terkesan dengan konsep Ustadz tentang globalisasi. Ketika Barat datang, mereka tidak hanya merampas tanah, tapi mengubah model Barat, di antaranya model negara bangsa sebagai proyek Barat. Saya setuju urgensi sikap proaktif dengan menggali khazanah intelektual Islam.
Tapi, pertama, kita juga perlu merekonfigurasi khazanah itu. Tantangan mereka berbeda dengan tantangan kita. Maka, kita perlu merekonfigurasinya sesuai dengan kebutuhan kita.
Kedua, masalah moral dan keyakinan kita. Kita sering tidak toleran terhadap perbedaan. Misalnya perbedaan antara Sunni dan Syii. Saya lebih suka dengan orang Iran yang terbuka dan dialog, berbeda dengan orang Arab Saudi yang merasa superior dalam keagamaan dan membuat kita sulit berdialog dengan mereka. Ini harus kita selesaikan dalam membangun peradaban Islam.
Ketiga, hubungan politik dan ekonomi. Indonesia tergantung pada Barat. Perdagangan Indonesia lebih banyak dengan Barat, dengan Iran masih sedikit sekali. Ketergantungan ini menyulitkan pembangunan peradaban Islam. Kerjasama antar pemerintah sangat penting, tapi kerjasama ilmiah antara IAIN Banten dengan Perguruan-perguruan tinggi di Iran sangat penting.
Hasan Rahimpour:
Poin pertama sangat penting. Harus dibedakan antara reinterpretasi dengan pengubahan eksistensi agama. Kita tidak benar membuat agama baru. Ini satu ekstrem. Tapi, reinterpretasi terhadap para pemikir Islam adalah baik. Kita tidak boleh jumud. Jumud adalah ekstrem yang lain. Agar tidak terjatuh kepada kedua ekstrem tersebut, maka pertama-tama kita harus kembali kepada al-Quran. Al-Quran itu seperti air yang mengalir yang ke mana pun dan sampai kapan pun ia mengalir, ia cocok bagi tempat yang dijangkaunya. Kedua, kita harus bisa membaca dan memahami pandangan semua mazhab teologi dalam Islam supaya kita terbuka dan memahami pemahaman mazhab yang lain. Pemahaman lain diperlukan sebagai tangga menuju kesempurnaan. Begitu juga dalam fiqih, tafsir, dll.
Poin penting lainnya dalam upaya reinterpretasi ini adalah rasionalitas. Kita harus memaksimalkan rasio kita untuk menganalisa perbedaan-perbedaan. Jika kita menerima pandangan ulama klasik secara mutlak, maka kita jatuh ke dalam kontradiksi. Karena mereka satu sama lain berbeda pendapat. Jadi, kita tidak dapat menerima 100 % al-Ghazali dan 100 % Ibnu Taimiyyah. Di antara mereka terdapat banyak perbedaan.
Berkaitan dengan toleransi, ini juga penting, walaupun kata ini juga impor dari Barat yang punya konsekwensi tertentu. Saya tidak tahu apa arti ungkapan ini dalam bahasa Indonesia, tapi dalam bahasa Arab ada rifq, mudarah, dan haml ‘ala sihhah.
Poin tentang hubungan kerjasama penelitian dan pendidikan. Sayang ini memang sangat kecil. Tidak ada pertukaran pelajar misalnya. Ini kembali kepada administrasi kampus, negara. Ini harus diperbaiki sedikit sedikit. Jika kita mengenal informasi tentang suatu negara dari musuh, bahwa satu negara adalah sesat dan harus dimusuhi, maka kita sulit maju.
Bagus Rachman Wahid (mahasiswa Jurusan BKI semester VI):
Masukan yang sangat berharga tentang bagaimana umat Islam bisa mengambil kembali tampuk kepemimpinan dunia saat generasi muda dicekoki ghazw al-fikr Barat lewat fun, food, film, fashion. Aspek Islam dalam hal tersebut sudah nyaris hilang. Generasi muda sudah sangat mengikuti Barat. Pertama, harus ada langkah nyata.
Kedua, media menilai Iran sebagai negara yang berani melawan hegemoni Barat. Pemuda Iran tentu memiliki kebanggaan untuk itu. Apa yang dilakukan pemerintah Iran pada para pemuda agar tidak seperti di Indonesia yang membangga-banggakan boy band, girl band?
Hasan Rahimpour Azghadi:
Saya ingin menjawab semua pertanyaan, tapi waktu sudah menunjukkan waktu Salat Zuhur.
Poin pertama tidak terjadi di Indonesia. Inilah yang saya sebut tadi dengan pemaksaan. Apa yang harus kita lakukan?
Ada pemikiran yang salah yang perlu diluruskan. Ketika orang punya kelebihan dalam materi, kelebihan itu sering dianggap segala-galanya. Jika seseorang memilikinya, maka yang lain mengikutinya. Barat mungkin punya materi dan teknologi lebih baik, tapi itu tidak berarti segala hal dari Barat harus diikuti. Jika kita bertemu dengan orang kaya, sedang kita tidak punya uang, tapi orang itu duduk dengan menjulurkan kaki, maka apakah kita akan mengatakan bahwa duduk menjulurkan kaki kita sebut baik? Itu tidak ada hubungannya.
Imam Khomeini menjelaskan agar kita bisa menghilangkan perasaan seperti itu, bahwa kekayaan yang mereka miliki adalah milik kita. Mereka merampasnya dari kita lewat penjajahan di negara-negara Islam selama beberapa abad. Kedua, potensi kita sama dengan mereka. Imam mengatakan, “Katakan kepada para pemuda di dunia, bahwa kita mampu. Tidak ada beda antara orang kulit hitam dan putih dalam potensi.” Ini perlu didoktrinkan.
Poin kedua, untuk menjadi orang yang mulia dan mandiri, yang mampu menghidupkan identitas dirinya, itu butuh biaya, kerja keras, disiplin, pengorbanan waktu, optimalisasi waktu, dan tidak mungkin tercapai dengan berpangku tangan. Pemuda Iran bangga pada negaranya tidaklah seratus persen benar. Tapi, memang ada perbedaan antara kondisi pemuda Iran sebelum dan setelah Revolusi Islam Iran. Sekarang persentase pemuda yang lebih suka ke perpustakaan lebih banyak daripada yang suka ke bar. Ini harus diperjuangkan agar kita dapat menciptakan kader dan generasi muda yang memiliki ilmu, akhlak, teknologi yang tinggi.
Kita harus membenahi rumah tangga kita. Lalu, cahaya rumah tangga kita itu kita tawarkan kepada yang lain. Mudah-mudahan tidak lama lagi kita menyaksikan hal itu terlaksana. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penutup
Demikian isi ceramah dan tanya jawab. Pemikiran dan aktivitas Prof. Azghadi dapat dilihat di situs pribadinya 

Tidak ada komentar: