MOHON DUKUNGAN

MOHON DUKUNGAN

Kamis, 26 Juli 2012

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri


Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri 

Kamis, 26 Juli 2012, 22:56 WIB
indonesiaoptimis.com
  
Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri (3)
Ilustrasi



                                                                                      Oleh: Komaruddin Hidayat * 
AL-AKHBARONLINE.CO.ID - Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95: 4). 

Namun begitu, Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91: 7-10). 

Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fitri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4: 174).
 
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu  faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
 
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya,  kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.
 
Demikianlah, manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia. 

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. 

Dalam tradisi ilmu fikih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Mahahakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Mahahakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
 
Demikianlah, bila ilmu fikih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Mahahakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Mahaakal,  sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.


Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. 

Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
 
Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi. 

Kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, paham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being.
 
Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhana tetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalam memahami kehidupan yang penuh nuansa ini. 

Progressive reductionism works as follows. An art object is only mass and light waves; an act of love only chemiphysical, only electrical charges; therefore, the art object or act of love is only a flow of electricity. (Ralph Ross,  1962,  hal. 8).
 
Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegas dikritik oleh Alquran. Menurut doktrin Alquran, manusia adalah wakil  Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3).  

Lebih dari itu, dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat  dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
 
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni
(Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Kuciptakanlah makhluk, maka melalui Aku mereka kenal Aku).
 
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang suf menerima hadis tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan  QS. 41: 53).  

Dalam QS. 15: 29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam Alquran beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah, unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.



Dari jenjang pertama sampai ketiga, aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). 

Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. 

Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh. 

Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana Muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakikat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Mahasuci.  

Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini, maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal. 

Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Mahacahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima.  

Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling  dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. 

Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga iakehilangan otonominya sebagai master.  

Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Mahasuci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

* Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Pustaka Media

Tidak ada komentar: